Monday, August 28, 2006

Best Quality of Service, mungkinkah…?

Seandainya ada mesin yang mampu mengubah perilaku orang dalam sesaat, mungkin stress dapat ditekan sampai pada titik yang paling rendah, mungkin sudah tidak perlu lagi pelatihan Service Excellence, dan hidup akan selalu terasa tenang dan tentram. Kenyataannya perilaku tidak dapat dengan mudah berubah, apalagi menyesuaikan dengan keinginan setiap orang

Dari hari ke hari kita sering melakukan aktifitas kerja, bertemu dengan banyak orang, membayar rekening air, mengurus pembuatan SIM, kadang juga bertanggungjawab membayar telepon rumah diloket terdekat dan sering antri saat mendekati batas waktu pembayaran. Workload yang tinggi seperti antrian panjang paling sensitif terhadap ketidaknyamanan pelayanan. Hampir semua perkantoran baik pemerintah maupun swasta memiliki staf yang bertugas di baris depan sebagai frontliner. Lihatlah ketika anda menabung uang di Bank, mendaftar sebagai mahasiswa baru di Perguruan Tinggi, mengurus KTP, membeli tiket pesawat di agen perjalanan sampai mengurus administrasi apa saja di lembaga pemerintahan. Semuanya berhubungan dengan pelayanan. Sialnya, hampir semua pelayanan publik seperti yang disebutkan diatas belum memiliki standarisasi pelayanan yang memuaskan seperti Customer Satisfaction, Quality of Service, Service Excellence, Customer Care, jiwa melayani sepenuh hati dll. Belum lagi jika berbicara mengenai Good Corporate Governance.

Pelayanan yang selama ini kita dapatkan seperti jauh api dari panggang, bahkan yang paling parah jika mereka yang bertugas di bagian pelayanan justru mau dilayani. Kejadiannya justru terbalik, saat ingin mengurus surat menyurat yang membutuhkan tanda tangan pimpinan suatu instansi misalnya, tidak jarang yang sibuk mencari waktu dan tempat adalah kita sendiri yang justru tidak mengerti apa-apa tentang instansi tersebut. Belum lagi omelan bahkan marahan jika ada hal yang mereka anggap salah. Benar-benar bukan pelayanan yang kita dapat melainkan sumpah serapah, omelan, juga tidak jarang mereka malah asik ngobrol di telepon atau bergosip saat banyak yang membutuhkan informasi.

Fenomena ini sudah sering kita lihat sehari-hari, omelan dan sumpah serapah masih sering kita dengar, hal yang cukup luar biasa jika kita bisa mendapat frontliner yang tersenyum. Mungkin hal ini sudah menjadi kebiasaan bagi mereka yang tidak mendapat teguran dari atasannya, atau belum ada pelatihan berkesinambungan tentang bagaimana melayani klien dengan lebih baik.

Bagian pelayanan ini bisa saja menjadi cemin tentang atmosfir hubungan komunikasi intern suatu perusahaan atau instansi. Makin tinggi tingkat stress pekerjaan tertentu umumnya terbawa sampai ke bagian pelayanan di depan dan ini berpengaruh langsung terhadap konsumen, Brand Image yang dibentuk akhirnya dengan mudah melekat. Jika bagian pelayanan memberikan citra positif, otomatis bagian lain dibelakang perusahaannya akan terbantu , jika memberi citra negatif maka brand image yang dibangun tentu membuat klien tidak betah berlama-lama di perusahaan itu.

Seberapa besar kepedulian terhadap klien? (dalam hal ini klien adalah orang yang berhubungan langsung dengan bagian pelayanan). Tanpa diukur dengan hitungan matematispun kita sudah bisa menduga-duga bahkan banyak yang langsung mengambil kesimpulan bahwa pelayanan sektor publik di makassar masih belum memuaskan. Kepedulian terhadap klien ini baru menyinggung tentang sikap(attitude). Belum lagi fasilitas pendukung seperti sambugan telepon, alat tulis, name tag, data sampai sistem informasi (Customer Relationship Management).

Sebenarnya hal-hal diatas dapat diubah, terutama sikap yang digambarkan para staff pelayanan kepada orang luar. Ambil contoh yang paling mudah, lihatlah salesman yang kita sering jumpai di mall-mall atau yang mendatangi kita di kantor. Lihat juga penyiar radio saat menerima telepon penggemarnya, juga dokter yang melayani pasiennya. Selalu ada senyum mengembang di sana, selalu mendengar dengan penuh perhatian dan empati.

Kembali tentang perubahan sikap. Bagaimana melakukannya? Bagaimana menyatukan persepsi mereka semua? Bagaimana mengubah paradigma berfikir menjadi jiwa menerima dan melayani?… Dalam manajemen modern dikenal konsep-konsep baru tentang pelayanan. Konsep ini sebenarnya tidak terlalu baru, namun belum dikenal luas oleh sebagian lapisan masyarakat.

Salah satu konsep yang cukup populer adalah Quality of Service. Pengertian sederhananya adalah sikap ramah dan sopan kepada pelanggan. Lebih jauh Quality of Service dipahami sebagai nilai (value) yang diterima para klien melalui pemenuhan kebutuhan dan bahkan melampaui harapan. Nilai tersebut tercermin dalam bentuk interaksi komunikasi yang menyenangkan (ramah, sopan, selalu menolong, terampil dll), proses yang cepat, ringkas, sederhana dan nyaman. Semua hal ini dapat meningkatkan mutu pelayanan.

Jika sikap ini dapat dijaga dan berlanjut terus, lambat laun akan tercipta ikatan emosional yang kuat, dapat membentuk persepsi yang positif terhadap lembaga. Ambil contoh hubungan baik antara Taxi Blue Bird (BB) dengan penumpangnya (di jakarta) dijadikan sebagai salah satu business objective mereka. BB selalu melihat penumpangnya sebagai para duta (Customers as Ambassador). Disadari atau tidak para klien dan relasi tersebut akan mewakili lembaga di masyarakat untuk berbicara segala hal tentang lembaga tersebut.

Indikator sederhananya dapat digambarkan pada petugas pelayanan yang ramah, senyum, cepat tanggap, berbicara dengan suara yang jelas, memberi penjelasan yang mudah dipahami, menjaga kontak mata dan bahasa tubuh, mengucapkan terima kasih dan menawarkan bantuan. Contoh seluruh indikator ini terdapat pada pelayanan Rumah Sakit, klien yang tidak lain adalah pasien dan kerabat pasien membutuhkan suasana psikologis yang menyenangkan bukan menegangkan. Suasana yang nyaman ini dapat membuat pasien merasa tenang bahkan dapat membantu proses penyembuhan.

Balik pada indikator tadi, Bagaimana mengetahui tingkat pelayanan yang memuaskan klien dan pasien? Apa ukurannya? In advance, ukuran ini dapat ditemukan pada beberapa konsep Manajemen Mutu dimana setiap tindakan dan langkah kerja memiliki Standar Operational Procedure (SOP). Setiap langkah kerja petugas pelayanan berpedoman pada prosedur standar yang baku. Hal ini penting untuk mengukur langkah yang diambil oleh petugas pelayanan agar tidak menyimpang dari prosedur standar. Biasanya langkah kerja memiliki dokumen isian yang dimungkinkan untuk mencatat apa yang pertugas pelayanan kerjakan dan mengerjakan apa yang mereka catat. Dalam periode tertentu idealnya dibuat audit manajemen untuk memperbaiki sistem agar menjadi lebih baik. Jika hal ini dikerjakan terus menerus tidak mustahil pasien rumah sakit akan menjadi senang dan cepat sembuh.

Meskipun sistem pelayanan yang semakin profesional selalu membutuhkan biaya yang semakin tinggi. Bukanlah halangan untuk beramai-ramai memberikan layanan yang lebih baik kepada klien seperti kita-kita ini yang sering melihat sikap dan perlakuan yang jauh dari sikap melayani yang baik. Biaya bukanlah hambatan dan profesionalisme petugas pelayanan dapat melakukannya minimal memberi senyuman, bukankah senyum adalah ibadah?

Pertanyaannya, mampukah kita membangun jiwa melayani mulai dari diri kita sendiri?

Know More Content Management System

The term Content Management System (CMS) is currently a lot of mention of practitioners in the world of Web Design. This system pretty much help determine the location of the job as news positions, add or subtract features, design a web layout to fill the articles and news. Previously, building websites almost always rely on just one or two people doing everything from designing the layout design, coding programs to fill the website with information. CMS is already no longer need to think things through. Website owners can focus on just thinking about it. Add and manage website content can be done by anyone authorized by the Administrator, CMS can be used even by people who do not quite understand the technical programming. Add, change or delete the contents of the website directly can be done without typing the script programming, website content changes can be made via the Internet easily, quickly and without installing any software or have technical competence of certain programming languages. This means that the problems faced by webmasters as one by one to enter or change the contents of permitaan owner of the website is no longer needed.